Oleh :
• Abdusy Syakir., SH., MH., CLA., CRA., CIL., CM
“ Men dominate the political arena; men formulate the rules of the political game;
and men define the standars for evaluation.
The existence of this male dominated model results in women
either rejecting politics altogether or rejecting male-style politics ”
(Nadezhda Shvedova, Women in Parliament, Beyond the Number)
PENDAHULUAN
Gegap gempita persiapan pelaksanaan pemilu 2024 mulai terasa beberapa waktu terakhir, baik dari sisi penyelenggara pemilu, peserta pemilu serta pemangku kepentingan lainnya. Secara resmi tahapan pemilu 2024 di launching secara serentak se-Indonesia baik secara offline ataupun zoom pada tanggal 14 Juni 2022 lalu yang dihadiri antara lain Menteri Dalam Negeri, Pimpinan MPR, Pimpinan DPR, Ketua KPU, Bawaslu, DKPP, pimpinan parpol dan stakeholder terkait. Disadari Pemilu 2024 terasa berbeda dibandingkan dengan pemilu sebelumnya karena akan dilaksanakan secara serentak selama lebih kurang 20 (dua puluh) bulan selain pelaksanaan pemilihan Legislatif, juga pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) pada tahun yang sama.
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
Merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.3 tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan pemilu 2024, setidaknya ada 16 tahapan penyelenggaraan yang diawali dengan tahapan perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu. Disisi lain membersamai hajatan ini, juga dilakukan rekrutmen penyelenggara pemilu baik KPU ataupun Bawaslu beserta hierarkinya, yang telah dimulai dengan terpilihnya 7 (tujuh) orang KPU RI (terdiri dari 6 orang laki-laki, 1 perempuan) dan 5 (lima) orang Komisioner Bawaslu RI (4 orang laki-laki, 1 perempuan) dan telah dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Negara untuk masa bakti 2022-2027 setelah melalui tahapan uji kelayakan dan kepatutan (fit and profer test) oleh Komisi II DPR RI, Rabu 16 Pebruari 2022 lalu.
Bagi Penulis ada hal yang menarik dan tentu menjadi catatan kritis bercermin dari proses rekrutmen 2 penyelenggara pemilu tersebut , yakni minimnya keterwakilan kaum perempuan di ranah politik khususnya bagian daari penyelenggara pemilu dan ini idem-tito terjadi pada tingkat bawah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Joni Lovenduski dalam esainya “Politik Berparas Perempuan”, memberikan setidaknya 3 (tiga) argumen pentingnya demokrasi yang merepresentasikan keterwakilan politik kaum perempuan, yakni :
- Argumen keadilan, yang menyatakan dalam negara yang demokratis perempuan secara formal konstitusional sama dengan laki-laki;
- Argumen pragmatic, kecenderungan partai politik yang membela perempuan akan dipilih oleh perempuan (hasil peneliitiannya di Inggris pada 1979);
- Argumen perbedaan yang mengatakan bahwa perempuan membawa pengaruh dan dampak politik yang lebih baik dan menguntungkan semua pihak, seperti terhubung dengaan masyarakat sipil, masyarakat pinggiran dan praktik subordinasi.
Aspek keterwakilan kaum perempuan ini dalam keikutsertaan pada penyelenggara pemilu sejatinya menjadi keyword untuk taat dan tunduk pada konstitusi yakni merujuk pada ketentuan Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang pada pokoknya “mewajibkan” komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan 30 % keterwakilan kaum perempuan, disisi lain sebagai bentuk itikad baik serta komitmen dukungan keterwakilan kaum perempuan dengan memastikan penyelenggara pemilu bukan hanya yang memahami politik gender, melainkan hadirnya perempuan secara angka dan makna. Tentu norma yang telah disebutkan secara tegas tersebut mendasarkan pada Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 1984, secara eksplisit mengamanahkan penghapusan segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik, dan diaplikasi dalam teks konstitusi Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian diterjemahkan sebagai Affirmative Action merujuk pada ketentuan Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pertanyaan yang muncul, kenapa harus 30 % keikutsertaan perempuan dalam konteks politik ? salah satu yang mendasari adanya angka tersebut antara lain didasarkan pada studi United Nations Division for the Advancement of Women (UN-DAW) bahwa suara perempuan, khususnya dalam menunjukkan dan memperjuangkan nilai-nilai, prioritas, dan karakter khas keperempuanan, baru diperhatikan dalam kehidupan publik apabila suaranya mencapai minimal 30%-35% (Marle Karl, 1995).
REALITAS KETERWAKILAN PEREMPUAN
Mengutip data dari KPU dan Bawaslu, realitas hari ini menunjukan betapa minimnya keterwakilan kaum perempuan dan kehidupan politik dan public khususnya sebagai penyelenggara pemilu setidaknya pada 1 periode terakhir. Berdasarkan data yang dihimpun KPU tentang penetapan anggota Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu Pusat, keterwakilan perempuan pada periode 2017-2022 belum mencapai batas minimal 30%. Berikut data komisioner KPU berdasarkan SK KPU Nomor: 511/PP.06- Pu/05/KPU/V/2018 tentang penetapan anggota KPU Provinsi Periode 2018-2023 dan SK No: 588/PP.06-Pu/05/KPU/VI/2018 tentang penetapan anggota KPU Kota dan Kabupaten Periode 2018-2023, dapat dilihat pada matriks berikut ini :
No. PENYELENGGARA PUSAT PROVINSI KAB/KOTA KET
- KPU L = 6 (85,7%)
P = 1 (14,3%) L = 146 (78,9%)
P = 39 (21,1%) L = 2.101 (82,7%)
P = 441 (17,3%) Paling tinggi 21,1 % - BAWASLU L = 4 (80%)
P = 1 (20%) L = 150 (79,8%)
P = 38 (20,2%) L = 1.599 (83,5%)
P = 315 (16,5 %) Paling tinggi 20,2%
Membaca matriks diatas berdasarkan jumlah dari total prosentase Komisioner KPU dan Bawaslu dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan di ranah penyelenggara pemilu kurang dari 30%, bahkan tidak sampai 25%. Kondisi ini suka tidak suka hendaknya sebagai refleksi sekaligus cambuk bagi kaum perempuan untuk membuktikan bahwa dalam konteks politik, kapasitas dan komitmen perempuan tak kalah lebih baik jika dibandingkan laki-laki, apalagi konstitusi telah memberikan ruang lebih untuk, termasuk kalangan aktivis dan penggiat yang konsen terhadap isu-isu perempuan, setidaknya pemilu 2024 menjadi ajang test case atas realitas yang terjadi sebelumnya.
FAKTOR PENGHAMBAT
Uraian atas realitas yang terjadi diatas setidaknya didasarkan atas adanya faktor penghambat untuk mewujudkan Affirmative Action dalam konteks 30 % keterwakilan kaum perempuan, antara lain yakni :
- Merujuk pada jurnal penelitian “Konflik Gender dan Partisipasi Perempuan Sebagai Pengawas Pemilu 2019” oleh Yon Daryono (2020), gagalnya kouta 30% keterwakilan perempuan sebagai Pengawas Pemilu antara lain disebabkan faktor :
a. Regulasi dan kelembagaan yang tidak dipahami secara utuh oleh para pihak;
b. Karakteristik individu (personality);
c. Lingkungan sosial;
d. Budaya masyarakat
Disamping itu kondisi demikian diperparah dengan rendahnya komitmen DPR yang hanya memaknai hadirnya regulasi sebagai seremonial belaka untuk menggugurkan kewajiban sebagai syarat keberadaan perempuan dalam penyelenggara pemilu, mestinya dimaknai sebagai wujud internalisasi konkrit DPR sebagai lembaga yang memiliki komiten kuat mewujudkan pemilu yang iklusif, demokratis, adil dan berintegritas. - Mendasarkan pada hasil studi Pusat Kajian Politik UI (2020), faktor penyebab rendahnya keterwakilan perempuan di Penyelenggara Pemilu antara lain :
a. Lemahnya jaminan regulasi yang ada;
b. Minimnya akses informasi dan pengetahuan atas proses seleksi yang terbatas;
c. Kondisi social yang belum ramah gender
d. Kurangnya dukungan politik;
e. Faktor budaya atau kultural.
Dan faktor diatas diperparah adanya bias gender, ketiadaan sanksi dalam UU Pemilu sehingga berdampak pada distorsi dikalangan aktor politik dalam memenuhi komitmen keterwakilan perempuan 30 %. Konteks Affirmative Action dalam politik perempuan merupakan konsekuensi politis dalam demokrasi yang mengutamakan aspek perwakilan dan keterwakilan, disatu sisi lembaga politik yang menaungi beragam perwakilan politik dan satu sisi aspek keterwakilan politik perempuan dengan beragam kepentingan dan perspektif yang khas untuk kepentingan kaum perempuan.
KESIMPULAN
Suka tidak hari ini kaum perempuan harus menerima realitas bahwa keterwakilan pada ranah politik atau publik khususnya penyelenggara pemilu amat minim, ada banyak data dan fakta yang bicara, tentu hal tersebut tak pula dapat dinegasikan sebagai satu konklusi bahwa kaum perempuan “tunduk dan takluk” pada dominasi laki-laki. Momentum pemilu 2024 serta kompleksitas yang mengikutinya adalah pilihan tepat untuk membantah asumsi, prejude serta realitas yang ada demi mewujudkan keadilan electoral yang mengedepankan demokrasi yang jujur, bebas, adil, berintegritas dan ramah gender, meski jalan yang harus ditempuh terjal, penuh onak dan duri….semoga terwujud.
• Penggiat pada Komunitas Marginal