Menteri ESDM Bahlil Sebut Kebijakan Hilirisasi Nikel yang Belum Adil Bagi Masyarakat Daerah dalam Sidang Doktoral UI

banner 468x60

Bintanghukum.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia lulus sidang promosi doktor di Universitas Indonesia (UI), pada Rabu, 16 Oktober 2024.

Dalam sidang terbuka, Bahlil mengungkap penelitiannya berjudul ‘Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia’.

Hasil penelitian yang dilakukan Bahlil dalam studi doktoral bidang Kajian Strategis Global itu menunjukkan sejumlah masalah utama dari dampak hilirisasi.

Bahlil mengungkap, ada empat masalah utama dari dampak hilirisasi, yaitu ketidakadilan dana transfer daerah, keterlibatan pengusaha daerah yang minim, keterbatasan partisipasi perusahaan Indonesia dalam sektor hilirisasi bernilai tambah tinggi, serta belum adanya rencana diversifikasi pasca-tambang.

“Masalah utama dari dampak hilirisasi itu membutuhkan penyesuaian kebijakan pemerintah,” kata Bahlil saat Sidang Promosi Doktor Bidang Kajian Stratejik dan Global di Universitas Indonesia, Depok, pada Rabu, 16 Oktober 2024.

Berkaca dari masalah itu, Bahlil mengungkap sejumlah kritik terhadap hilirisasi nikel berdasarkan hasil penelitiannya. Berikut ini ulasan selengkapnya:

Perbankan Nasional yang Belum Biayai Investasi

Dalam kesempatan yang sama, Bahlil mengungkap masalah perbankan nasional yang belum membiayai investasi di sektor hilirisasi.

“Salah satu di antara masalah kita adalah perbankan nasional yang belum membiayai investasi di sektor hilirisasi,” ujarnya.

Bahlil menilai banyak pengusaha daerah yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama, sementara investor dari Jakarta dan luar negeri terus mendominasi.

“Reformulasi yang kami sarankan adalah 30 sampai 45 persen kami ingin penerimaan negara harus dibagi ke daerah,” tegasnya.

Kebijakan Hilirisasi Nikel yang Belum Adil

Bahlil juga menyoroti kebijakan hilirisasi nikel yang belum memberikan keadilan bagi masyarakat daerah.

“Sementara beban tanggung jawab kepada mereka (masyarakat daerah) cukup luar biasa. Kesehatan, lingkungan, jalan-jalan, kemudian sampah, luar biasa sekali,” terang Bahlil dalam presentasi disertasinya.

Bahlil menyoroti hilirisasi nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan warga sekitar.

“Kesehatan, ISPA di Sulawesi Tengah khususnya di Morowali (capai) 54 persen, itu kena semua,” terangnya.

Selain itu, hilirisasi nikel di Morowali itu juga membuat kualitas air di sekitar kawasan industri menjadi buruk.

Meskipun dirinya mengungkap kritik, dirinya juga mengakui hilirisasi merupakan langkah terbaik yang diambil pemerintah.

Pihaknya memastikan akan memulai perbaikan atas dampak buruk yang dihasilkan dari industri nikel.

Rekomendasi Reformasi Kebijakan

Bahlil juga mengutarakan soal solusinya terhadap kebijakan hilirisasi di Indonesia.

Salah satu rekomendasinya, yaitu reformasi kebijakan penguatan kemitraan antara investor dengan pengusaha daerah.

“Saya pikir ke depan kita akan lakukan perubahan, yang kami sarankan adalah 30 sampai 45 persen kami ingin penerimaan negara harus dibagikan ke daerah,” terang Bahlil dalam kesempatan yang sama.

Selain itu, pembagian dana bagi hasil (DBH) harus adil antara pendapatan dan pemberiannya.

“Harus dibagi DBH oil and gas dan hilirisasi. Migas nggak banyak melibatkan masyarakat dan lingkungan tapi hilirisasi nikel sepanjang jalan dan masyarakat kena dampaknya. Antara pendapatan dan pemberian harus fair,” tegasnya.

“Memulai dari kekurangan jauh lebih baik daripada tidak memulai sama sekali dan kita akan melakukan perbaikan,” ujarnya.

Selain itu, Menteri Bahlil mengaku siap berkomitmen untuk melanjutkan pemajuan hilirisasi di Indonesia jika dipercaya lagi masuk dalam jajaran kabinet.

“Insya Allah, kalau kami masih dipercayakan oleh bapak presiden terpilih,” tegasnya. (*)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *