JAKARTA – Genderang persaingan Pilpres 2024 makin ketat. Tiga bakal calon presiden yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto telah menyiapkan diri masang kuda-kuda.
Pendaftaran Capres/Cawapres dibuka oleh KPU pada Oktober mendatang. Akan tetapi, masing-masing capres bersama timnya sudah memetakan lumbung suara untuk dipertahankan dan diperebutkan.
Jawa yang utama. Mata senantiasa tertuju ke sana di setiap gelaran pemilu. Jumlah penduduk yang begitu besar membuat Jawa selalu menjadi lahan menjanjikan.
Merujuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang diterbitkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih di Pulau Jawa mencapai 115.373.669 orang. Setara dengan 56,33 persen dari total jumlah pemilih nasional.
Survei Litbang Kompas 27 Juli-7 Agustus 2023 memotret dominasi Ganjar di Jawa. Elektabilitasnya mencapai 39,6 persen. Mengungguli Prabowo dengan 28,8 persen dan Anies 16,7 persen.
Menurut survei Litbang Kompas, elektabilitas Ganjar dominan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta. Sementara Prabowo punya pengaruh besar di Banten dan Jawa Barat. Anies berkuasa di DKI Jakarta.
Sementara itu, LSI Denny JA telah membuat simulasi pilpres pada survei 3-15 Juli 2023. Pasangan Prabowo-Gibran unggul di Jawa dengan elektabilitas 33,9 persen, disusul Ganjar-Sandiaga dengan 37 persen, dan Anies-AHY 15,7 persen.
Ganjar-Sandiaga dominan di Jawa Tengah, provinsi yang disebut “Kandang Banteng” karena lumbung suara PDIP. Adapun Prabowo-Gibran mendominasi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.
Jawa adalah kunci
Direktur Eksekutif Puskapol UI Aditya Perdana mengatakan Jawa masih akan menjadi kunci kemenangan Pilpres 2024. Menurutnya, kandidat yang menang di Jawa kemungkinan besar menjadi presiden berikutnya.
Terutama jika menguasai tiga provinsi besar, yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Tiga provinsi itu memiliki pemilih sekitar 30 juta orang per provinsi.
“Jawa Barat, Jateng, Jatim itu kan di atas 25 juta, bahkan 30 juta. Banten dan DKI sendiri itu gede. Menentukan Jawa itu,” kata Aditya, Rabu (23/8).
Berkaca dari Pilpres 2014 dan 2019, suara di Jawa menjadi penentu pertarungan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.
Pada 2014, 78.280.208 suara di Jawa diperebutkan. Jokowi meraup 51,9 persen di pulau itu. Ia pun keluar sebagai pemenang dengan total perolehan suara nasional sebesar 53,15 persen.
Lima tahun berikutnya, total suara yang diperebutkan di Jawa menembus 88.611.264 suara. Jokowi mampu merengkuh 57,87 persen di Pulau Jawa dan memastikan kemenangan di Pilpres 2019.
Aditya berpendapat potensi suara di Jawa pasti akan mempengaruhi peta politik. Para kandidat akan membuat keputusan-keputusan yang memungkinkan pendulangan suara di Jawa.
Salah satunya adalah pemilihan calon wakil presiden. Menurutnya, dari sederet nama yang masuk bursa cawapres, hanya kandidat yang punya kedekatan dengan masyarakat Jawa yang akan dipilih.
“Ceruk pemilih di Jawa yang mereka perebutkan hampir 60 persen total penduduk, memang penting. Makanya salah satu pertimbangan adalah memilih cawapres yang kuat di Jawa, merepresentasikan Jawa,” ujarnya.
Aditya memahami memang beberapa provinsi di Jawa telah menjadi lumbung suara calon tertentu. Misalnya, Jawa Barat dan Banten yang lekat dengan Prabowo. Begitu pula DKI Jakarta dengan Anies dan Jawa Tengah dengan Ganjar.
Meski begitu, ia meyakini peta itu belum final. Selain masih ada faktor cawapres, faktor kebimbangan pemilih pun akan sangat mempengaruhi.
“Berdasarkan survei yang kami lakukan dan belum dipublikasi, keyakinan pemilih untuk mencoblos capres masih 50 persen. Jadi, masih galau, masih banyak perubahan yang bisa terjadi,” ucapnya.
“Memang di Banten, misalnya, Prabowo kuat. Tapi ada Anies juga. Ganjar juga bisa saja tiba-tiba menjadi unggul,” kata Aditya. (Cnnindonesia)