Bintanghukum.com – Bank Indonesia (BI) menyebut uang pecahan Rp10.000 tahun emisi 2005 berwarna ungu terang yang memiliki gambar Sultan Mahmud Badaruddin II dan Rumah Limas sudah tidak berlaku lagi.
Bagi yang masih memiliki uang tersebut, sebaiknya dikoleksi pribadi atau dijual ke kolektor uang, karena sudah tidak bisa ditukar ke bank.
Sebab, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Sumatera Selatan (Sumsel) Ricky Perdana Gozali mengungkap, uang Rp10.000 emisi 2005 seharusnya telah ditarik sejak 2010.
Namun kala itu, masyarakat diberikan tenggat waktu selama lima tahun untuk mengembalikan uang tersebut.
“Masyarakat diberi waktu lima tahun untuk pengembalian, karena tahun 2016 tidak berlaku lagi,” kata Ricky dalam acara ‘Memorabilia Uang Rupiah Pecahan 10.000 Tahun Emisi 2005’ di Museum Balaputra Dewa, Palembang, pada Kamis, 3 Oktober 2024.
Ricky mengungkap, terkini yang berlaku adalah uang pecahan Rp10.000 tahun emisi 2022 dengan gambar Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo dengan dominasi warna ungu.
“Kini yang berlaku ada gambar utama Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo,” terangnya.
Dalam kesempatan itu, Penjabat Gubernur Sumatera Selatan Elen Setiadi menyoroti gambar Rumah Limas yang ada di uang pecahan Rp10.000 emisi 2005.
Elen mengungkap, uang tersebut istimewa karena menampilkan gambar Rumah Limas yang merupakan ikon arsitektur tradisional dan mencerminkan kearifan lokal yang menjadi warisan kehidupan masyarakat Sumatera Selatan.
“Sebagai PJ Gubernur Sumatera Selatan, saya merasa bangga bahwa Sumatera Selatan menjadi bagian dari sejarah bangsa melalui representasi budaya lokal yang ada pada Rupiah kita,” kata Elen dalam kesempatan yang sama.
Berkaca dari hal itu, berikut ini fakta-fakta menarik yang wajib diketahui tentang Rumah Limas yang ada di uang pecahan Rp10.000 emisi 2005:
Selalu Menghadap Timur dan Barat
Rumah Limas merupakan rumah tradisional Sumatera Selatan, ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas.
Umumnya, rumah ini memiliki luas mencapai 400 sampai 1000 meter persegi, yang didirikan di atas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air.
Dinding, pintu dan lantainya terbuat dari kayu tembesu, dan rangkanya dibangun dengan kayu seru. Setiap dinding dan pintu diberikan ukiran khas, dan jendela yang berukuran besar.
Jika diamati lebih dekat, maka bangunan Rumah Limas selalu menghadap timur dan barat.
Menurut filosofi masyarakat setempat, Rumah Limas wajib dibangun dengan menghadap ke arah matahari terbit dan matahari terbenam.
Selain itu, rumah bertingkat-tingkat ini mempunyai filosofi budaya tersendiri untuk setiap tingkatannya.
Setiap tingkatan itu harus sesuai dengan nilai-nilai budaya tradisional berdasarkan usia, jenis kelamin, pangkat, dan martabat masyarakatnya.
Potret Hunian Tradisional di Sumatera Selatan, Rumah Limas. (kemenparekraf.go.id)
Pagar Tenggalung: Teras Rumah Limas
Teras Rumah Limas dinamakan Pagar Tenggalung, untuk para tamu yang akan dipersilakan duduk di teras rumah itu.
Pagar Tenggalung juga untuk penyebutan tingkat pertama Rumah Limas, karena ruangannya yang tidak memiliki dinding pembatas, dan terhampar seperti teras.
Tingkat pertama yang khusus untuk para tamu itu diciptakan untuk suasana santai dan menenangkan pikiran.
Jogan: Tingkat Kedua Rumah Limas
Tingkat keduanya disebut Jogan, khusus bagi anggota keluarga atau pemilik rumah yang berjenis kelamin laki-laki.
Pembagian ruangnya berfungsi sebagai batasan aktivitas yang berlangsung di rumah, berdasarkan tingkat privasi atau kerahasiaan setiap keluarga.
Hal ini berkaitan dengan sikap pribadi masyarakat Palembang yang menjunjung tinggi kehormatan laki-laki dan wanita.
Kekijing: Tingkat Ketiga Rumah Limas
Kekijing adalah tingkat ketiga rumah tradisional Sumsel itu, yang artinya lebih tinggi dibanding lantai sebelumnya.
Pada tingkat ini, areanya diberi batas dengan menggunakan penyekat. Hal itu membuat Kekijing memiliki ciri khas tersendiri.
Ruangan tersebut umumnya digunakan untuk suatu acara atau hajatan, atau diperuntukkan untuk tamu yang sudah paruh baya.
Gegajah: Tingkat Tertinggi Rumah Limas
Tingkat tertinggi di rumah tradisional tersebut disebut juga ruangan Gegajah. Ruangan tersebut hanya boleh dimasuki oleh orang yang dihormati dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam keluarga inti.
Uniknya, Gegajah wajib memiliki undakan lantai yang disebut amben. Amben inilah yang digunakan untuk mengadakan musyawarah para penghuni Gegajah.
Selain itu, terdapat juga kamar pengantin yang hanya difungsikan jika pemilik rumah sedang mengadakan pesta pernikahan.*