Bintanghukum.com – Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkap kasus tindak pidana pertanahan yang terjadi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
AHY mengatakan, pihaknya tetap menunjukkan komitmen untuk terus memberantas mafia tanah meski masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir pada 20 Oktober 2024 mendatang.
“Walaupun 20 Oktober biasanya sudah fokus pada urusan politik dan transisi kepemimpinan, tapi kehadiran kami dan kita semua menunjukkan bahwa tugas pokok tetap nomor satu dan kita lanjutkan ‘gebuk’ mafia tanah,” kata Menteri AHY dalam konferensi pers di Polres Metro Bekasi, pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Dalam kesempatan itu, AHY menyebut sebanyak dua kasus mafia tanah di Kabupaten Bekasi berhasil diungkap dengan total kerugian mencapai Rp7,9 miliar. Berikut ini kami rangkum terkait kronologi selengkapnya:
Kasus Pertama: Pemalsuan Akta Tanah
AHY menjelaskan, kasus pertama merupakan pemalsuan akta tanah yang melibatkan lima orang tersangka.
Komplotan mafia itu bekerja sama untuk menawarkan tanah kepada korban yang nilai kerugiannya mencapai Rp4,07 miliar.
“Setelah korban menyerahkan uang Rp4,072 miliar kepada Tersangka ES, OS, dan D, dengan diyakinkan oleh Tersangka RA dan RDS.
AHY mengungkap, salinan akta jual beli itu diduga telah dipalsukan tersangka dan tidak tercatat dalam buku repertorium atau ekstensi dari akta yang dapat menunjukkan kebenaran bahwa akta itu dikeluarkan oleh notaris yang bersangkutan.
“Faktanya, salinan akta jual-beli tersebut adalah palsu dan tidak tercatat dalam buku repertorium,” ungkapnya.
Akibat dari tindakan pemalsuan itu, korban dirugikan karena tidak dapat melakukan proses penerbitan sertifikat atas nama sendiri.
Kasus Kedua: Modus Operandi Sertifikat Palsu
Menteri AHY menerangkan, kasus kedua melibatkan dua tersangka dan 37 korban yang jumlahnya masih berpotensi bertambah.
AHY menyebut Tersangka RD menggandakan puluhan sertifikat hak milik orang tuanya yang dibantu Tersangka PS.
“Modus operandi yang dilakukan adalah menduplikasi sertifikat, di mana Tersangka RD meminta Tersangka PS membuat sertifikat palsu dengan menduplikasi sertifikat atas nama keluarganya,” terangnya.
Menteri ATR/BPN itu menerangkan, puluhan sertifikat yang dipalsukan tersangka seperti perubahan nama pemegang hak Nomor Induk Berusaha (NIB), nomor hak sertifikat, dan nama pemiliknya.
“Sebanyak 39 sertifikat dilakukan perubahan pada atas nama pemegang hak NIB, nomor hak sertifikat, dan nama pejabat (pemilik),” bebernya.
AHY juga mengungkap, sertifikat palsu itu digunakan Tersangka RD untuk menjadi jaminan utang kepada para korban dengan potensi kerugian menilai Rp3,9 miliar.
“Atas terungkapnya kasus (kedua) ini, maka yang terselamatkan real loss atas laporan 37 korban tadi dan 39 sertifikat hak milik itu sekitar kurang lebih Rp3,9 miliar,” tandasnya.
Perhitungan Kerugian Dua Kasus Mafia Tanah di Kabupaten Bekasi
Menteri AHY mengungkap fiscal loss (kerugian fiskal) berdasarkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPH) sebesar Rp1,608 triliun.
“Fiscal loss berdasarkan BPHTB dan PPH dihitung sebesar Rp1,608 triliun,” ungkapnya.
Menteri ATR/BPN itu juga mengungkap total kerugian dari dua kasus mafia tanah tersebut adalah Rp183,5 miliar.
Di sisi lain, AHY mengatakan total kerugian yang dapat diselamatkan sebesar Rp179,4 miliar berdasarkan real loss, fiscal loss, dan potential loss.
Terkait potential loss (potensi kerugian), AHY menyebut kasus mafia tanah yang berada di atas lahan yang akan dibangun MRT itu sebesar Rp30 triliun, berdasarkan laporan yang diterimanya dari Kementerian Perhubungan.
“Potential loss dari proyek besar MRT tadi bisa dikatakan untuk wilayah Bekasi ini sehingga mencapai Rp30 triliun,” tandasnya..(*)